Lompat ke isi utama

Berita

Peran Mahasiswa untuk Pemilu

Oleh: Ahmad Tamimi
(Anggota Bawaslu Kabupaten Indragiri Hilir)

Banyak negara yang menganut sistem demokrasi, pemilihan umum dipandang sebagai lambang, sekaligus tolak ukur dari demokrasi itu. Hasil pemilihan yang di selenggarakan dalam suasana terbuka dengan kebebasan berpendapat dianggap mencerminkan dengan agak akurat partisipasi serta aspirasi masyarakat (Miriam Budiardjo: 2008, 461) dalam keikutsertaannya menentukan siapa pemimpin terbaik.

Untuk mencari pemimpin terbaik dengan sistem pemilu lansung yang masih tergolong dini ini, tentu bukan merupakan hal yang mudah. Selain persoalan rendahnya tingkat pendidikan masyarakat di tambah lagi dengan persoalan budaya, terutama budaya politik yang masih tergolong kelabu yaitu belum mencerminkan kedewasaan yang educative, sehingga gerakan yang muncul lebih berbasis pada kepentingan praktis-pragmatis ketimbang basis pengetahuan yang rasional. Akhirnya tidak banyak pelajaran yang bisa diambil oleh masyarakat. 

Menurut Azyumardi Azra demokrasi dalam bentuk suksesi kepemimpinan akan bisa melahirkan hasil yang subtansi apa bila pendidikan masyarakatnya sudah memadai (Azyumardi Azra: 2006), baik pada pelaku politik maupun masyarakat sebagai konstituen. Setidaknya pandangan Azra telah menggambarkan realitas kita, dan ini makin menguatkan rasa khawatir akan terjadi sebuah pesta demokrasi lokal yang hanya menjadi sebatas ritual tanpa makna jika tidak dilakukan gerakan alternatif oleh kelompok-kelompok tertentu yang sadar akan kepentingan bangsa. Makanya dalam tulisan ini penulis akan memaparkan sekelumit tentang peran strategis mahasiswa dalam partisifasinya terhadap suksesnya pemilu. Tujuannya untuk meminimalisir kesalahan yang mungkin terjadi serta sebagai usaha agar apa yang menjadi keinginan masyarakat terwujud adanya terutama pemilu kada terbaik hingga lahirnya pemimpin yang terbaik pula.

Mahasiswa: Antara Posisi dan Peran

Mahasiswa merupakan kaum intelektual muda yang memegang peranan penting sebagai garda terdepan (avant-grade) generasi muda. Dengan modal idealismenya mereka punya nilai kepeloporan yang besar dalam mengadakan perubahan. Salah satu modal utama perubahan itu adalah sikap Idealisme yang di anut dan itu sekaligus sebagai penentu independensi. Jadi, bicara soal posisi mahasiswa sebenarnya mereka tidak menyerah pada determinisme historis yang lahir dari kekuatan sejarah yang akan melenyapkan keperibadian dan koitmennya, Tapi lebih kepada determinisme ke-Tuhanan (Ali Shariati:1996, 214) yang sekaligus untuk kemanusiaan.

Kita menyakini keutuhan ini masih terjaga walaupun kadang kita juga harus jujur terhadap realitas sosial gerakan-gerakan kelompok tertentu yang bergerak menggunakan jubah mahasiswa bahkan jubah agama tapi sebaliknya terselip kepentingan segelintir orang untuk berkuasa. Tapi walaupun begitu masih banyak mahasiswa yang peka terhadap kepentingan orang banyak dan mereka itu terbebas dari kontaminasi kepentingan praktis-pragmatis individu maupun sekelompok orang.

Pada posisi bebas inilah membuat mereka lebih leluasa dalam menjalankan perannya sebagai kaum menengah. Secara umum ada dua peran penting mahasiswa. Pertama; peran korektif, dalam peran ini mahasiswa menjalankan fungsinya sebagai agent of social control. Kedua; peran transpormatif, yaitu peran mahasiswa dalam rangka ikut serta mencerdaskan masyarakat. Dari kedua misi besar inilah akan kita gunakan sebagai perspektif untuk melihat peran strategis mahasiswa dalam pemilu.

Sebenarnya banyak peran yang bisa diambil oleh mahasiswa untuk mengabdikan dirinya kepada masyarakat dan sekaligus mengawal jalannya pesta demokrasi ini agar tidak ternodai dengan hal-hal yang tidak diinginkan. Hemat penulis ada beberapa persoalan yang sangat strategis yang menjadi peran itu.

Pertama, Pendidikan politik, dalam pasal 11 poin 1a undang-undang No 2 Tahun 2008 tentang partai politik, di sana dijelaskan bahwa fungsi partai politik sebagai sarana pendidikan politik bagi masyarakat agar menjadi warga yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Ketika undang-undang ini dikaitkan dengan proses pemilu kada, Menurut hemat penulis bila pendidikan politik yang bersifat musiman terkait dengan suksesi kepemimpinan dilakukan oleh partai politik sementara mereka adalah komunitas yang syarat dengan kepentingan struktural politik yang begitu besar.

Maka belumlah dipandang tepat, karena khawatir akan melahirkan konstituen yang lebih cenderung diarahkan pada kepentingan itu, serta mengabaikan hati nurani terkait siapa yang akan dipilih, makanya peran pendidikan politik terkait suksesi kepemimpinan untuk menciptakan pemilih yang rasional adalah salah satu peran strategis mahasiswa, dengan memberikan pemahaman yang standar terkait seperti apa mencari calon pemimpin terbaik bagi daerah sumbar kedepan.

Kedua, Money politik, salah satu kondisi yang marak terjadi ketika pemilu adalah kegiatan money politik, dalam rekruitmen politik dan proses politik lainnya. Walaupun dalam aturan mainnya ada batasan-batasan sumbangan tapi dalam praktek kerap dilaksanakan dengan tidak transparan. Kita khawatir jika mereka naik akan kentalnya praktek politik balas budi, dan ini jelas akan menomor duakan kepentingan rakyat.

Dalam norma standar demokrasi, dukungan politik yang di berikan oleh satu aktor politik lainnya di dasarkan pada persamaan preferensi politik dalam rangka memperjuangkan kepentingan publik. Setiap warga punya hak dan nilai suara yang sama, namun melalui money politik, dukungan politik di berikan atas pertimbangan uang. Artinya yang mampu membangun dukungan politik bukan warga negara tapi uang.

Oleh karena itu praktek money politikakan memberi ruang pengaruh yang sangat luas bagi pemilik uang dan meminggirkan kapasitas pengaruh dari yang tidak punya akses terhadap sumber ekonomi ini. (Pratikno: 2003, 2). Dan implikasi yang sangat berbahaya lagi ialah melemahkan demokrasi dan negara bangsa. Karena kedaulatan tidak lagi di tangan rakyat tapi berada di tangan uang. Kita khawatir praktek ini akan membudaya yang pada awalnya dilihat sebagai anomali (penyimpangan) politik, namun bila dibiarkan tidak tertutup kemungkinan dilihat sebagai integral sebuah strategi.

Ketiga, tidak akuratnya penetapan data pemilih. Masalah data pemilih tetap (DPT) adalah masalah yang urgen dan bisa menjadi skenario politik. Ditambah lagi tidak pro-aktifnya masyarakat dalam tahap DPS sehingga banyak masyarakat yang komplain ketika namanya tidak terdaftar dalam DPT. Ketika data pemilih tidak sesuai dengan jumlah populasi yang ada di tengah masyarakat, ini akan membuka peluang terjadinya konflik ketika dalam perhitungan. Di satu sisi alasan tidak tersalurnya aspirasi, namun pada sisi lain akan bisa membuka peluang bagi tim sukses dari masing-masing calon untuk menggugat hasil itu, dan kasus sepeti ini telah banyak dipertontonkan di berbagai daerah yang berujung pada bentrok sama KPU setempat atau sesama tim sukses.

Keempat, KPU yang tidak netral. Faktor kekerabatan dan kedekatan secara emosional anggota KPU dengan salah satu pasangan calon terkadang membuat KPUD terkontaminasi dengan pesan-pesan politik dari salah satu kandidat dalam Pemilu kada atau juga berupa pemberian semacam upah agar keinginannya tercapai. Kelima, mencuri start kampanye. Banyak pasangan calon yang belum memasuki tahapan kampanye, tetapi sudah mengampanyekan dirinya. Ini sungguh tidak fair. Akan tetapi, inilah yang terjadi. Keenam, dukungan PNS yang tidak netral. Ikutnya aparat birokrasi dalam Pemilu kada atau calon incumbent kerap membuat birokrasi terkotak-kotak dan tidak netral. PNS secara diam-diam memberikan dukungan bahkan ada juga PNS yang ikut menjadi tim sukses

Kesemuanya ini tidak terlepas dari dua pran strategis mahasiswa sebagaimana yang telah di paparkan di atas tadi, yaitu peran korektif dan pran transpormatif. Sebenarnya masih banyak pran mahasiswa terkait pemilu, tapi di sisni yang dipaparkan hanyalah persoalan-persoalan yang memang sering muncul ketika pemilu. Penulis memandang ini harus dilakukan semacam tindakan prefentif agar hal-hal yang tidak diinginkan jauh dari realitas kita. Karena secara kultur kita adalah orang yang santun.

Untuk itu Gerakan mahasiswa harus mampu mengawal dan mengendus “bau” busuk ini yang kemungkinan bisa saja terjadi. Hal inilah yang hingga saat ini belum terpikirkan oleh gerakan mahasiswa dalam ajang Pemilu. Itulah sebabnya, perlu ada kontrak politik yang berisikan point-point yang pro terhadap masyarakat. Inilah harapan penulis terhadap gerakan mahasiswa yang ada. Semoga beberapa sikap di atas dapat memunculkan harapan baru bagi masyarakat kelak. Salam mahasiswa

Tag
BERITA
OPINI