6 Bahaya Politik Uang
|
Oleh: Ahmad Tamimi
(Anggota Bawaslu Kabupaten Indragiri Hilir)
Politik Uang (Money politik) merupakan strategi yang sering digunakan para calon untuk merayu suara rakyat. Strategi ini sungguh terbilang jitu di tengah kondisi ekonomi masyarakat sedang terpuruk lalu disuguhkan sejumlah uang dengan maksud agar dipilih tentu menjadi daya tarik tersendiri.
Namun, efek kegiatan haram ini ternyata tidaklah sederhana, ia dapat merusak sendi demokrasi bangsa yang seharusnya terus dibangun dengan pola ukur nurani dan akal sehat warga, dan kini nurani dan akal sehat itu disogok sedemikian rupa sehingga menggagalkan lahirnya standar kelayakan bagi sosok pemimpin atau wakil yang baik bagi warga.
Saya berpikir, andai uang atau materi yang menjadi tolak ukur orang dalam memilih, maka penjahat dan orang bodohpun akan berpeluang memimpin jutaan orang baik. Oleh karena itu, dalam tulisan singkat ini saya akan paparkan enam bahaya politik uang sebagai bahan renungan bagi masyarakat terutama para calon yang sedang berkompetisi meraih mandat rayat. Dari paparan ini nantinya diharapkan dapat membangun semacam kepahaman, kesepahaman dan kesadaran lalu mencerdaskan yang belum cerdas. Inilah sumbangsih terbesar dalam upaya mendewasakan demokrasi kita.
Setidaknya ada enam bahaya politik uang (money Politik); pertama, dapat merugikan calon lain, calon lain yang tidak memberi bisa dikarenakan faktor kesadaran dan bisa juga karena tidak punya uang. Oleh karena itu sikap adil dalam kompetisi sangat diutamakan dengan memilih jalan tengah, makanya tentang ini diatur dalam bentuk larangan dan jika tidak ditaati pasti dapat merusak perasaan dan kepentingan calon lain.
kedua, politik uang diharamkan agama, hal ini sungguh nyata dijelaskan dalam hadis Rasulullah SAW bahwa “laknat Allah kepada pemberi suap dan penerima suap” (HR. Ahmad). Selaku orang yang beragama tentu menjadi pertimbangan dominan sebelum melakukannya, karena bagaimanapun posisi menjadi pemimpin ataupun wakil rakyat akan menimbulkan pendapatan dan ini yang akan dimakan bersama sanak keluarga dan nantinya akan menjadi darah-daging kesemuanya, tentu akan dipertanggungjawabkan dunia dan akhirat kelak.
Ketiga, pelaku bisa dikurung 2 sampai 4 tahun sebagaimana dijelaskan dalam pasal 523 ayat 1, 2 dan 3 Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Aturan pidana pemilu dahulu yang memberi dan menerima sama-sama dikenakan sanksi, namun, kini berbeda hanya pemberi yang bisa dikenakan sanksi. Maka, dalam pemilu ini akan berpotensi banyak laporan masuk terlebih menyebarkan bantuan yang tidak dilegalkan jika diberikan pada basis lawan tentu akan berpotensi menjadi bumerang.
Keempat, politik uang dapat membeli suara dan harga diri masyarakat dengan mudah dan murah untuk masa jabatan lima tahun. Ditengah lemahnya perekonomian masyarakat lalu disunguhkan dengan sejumlah uang dalam nilai tak seberapa untuk ditukarkan dengan suara, tentu perkerjaan yang terbilang ringan bagi rakyat kecil, karena bagi mereka bekerja dalam keseharian untuk mendapatkan uang lima puluh atau seratus ribu rupiah begitu perihnya menaggung rasa tulang di badan.
Tapi poinnya bukan itu, disini ada tersimpan nilai keadilan bagi peserta, nilai agama dan budaya bagi diri setiap warga, nilai nasionalisme untuk berkorban berupa ikut serta memberi pilihan terbaik sesuai dengan nurani dan akal sehat untuk pembangunan negara-bangsa (nation-state). Kalau proses ini dimanipulasi dengan gerakan politik transaksional maka visi pemilu akan punah ditengah jalan. Maka, efek dari itu adalah rendahnya kualitas produk pemilu kita dikarenakan rendahnya harga sang pemilik suara.
Kelima, dapat melahirkan pemimpin atau wakil rakyat yang berpotensi korup. Hasil penelitian membuktikan bahwa ada korelasi erat antara tingginya biaya politik yang dikeluarkan dengan prilaku korup. Oleh karena itu korelasi yang begitu jelas ini mengharuskan kita untuk menghindari, jangan sampai Indonesia terus dirundung persoalan korupsi yang merusak sendi-sendi kehidupan, dengan merubah cara dalam memilih adalah cara tepat untuk memberantasnya.
Keenam, yang lebih menyedihkan lagi adalah money politik dapat membunuh peluang generasi baik dan berkualitas untuk mengakses kursi kekuasaan eksekutif-legislatif karena tidak punya banyak modal. Maka, posisi eksekutif- legislatif akan berpotensi dikuasai oleh lingkungan penguasa dan pemodal. Dengan begini wajah demokrasi berwatak ganda, satu sisi menganut demokrasi tapi dalam tatanan praktek justru terjebak dalam gerak oligarki yaitu sebuah pemerintahan yang dikuasai sekelompok orang dan merekalah yang menetukan segala bentuk kebijakan, tentu sangat membahayakan dan yang paling perlu disadari adalah individu masyarakatlah yang memelihara tradisi ini dan hanya individu masyarakat pulalah yang bisa merubahnya. Oleh karena itu mari kita berpikir lebih sejengkal dari soal lambung.