Lompat ke isi utama

Berita

Sistem Keadilan Pemilu

Oleh: Ahmad Tamimi
(Anggota Bawaslu Kab. Indragiri Hilir)

Demokrasi adalah sistem pemerintah meletakkan kedaulatan di tangan rakyat yang diwujudkan melalui adanya pemerintahan bersendikan perwakilan. Dalam konteks ini Pemilu atau pemilihan menjadi cara dan sarana sebagai mekanisme menentukan orang-orang yang akan mewakili. Selain sebagai sarana implementasi kedaulatan juga menjadi alat memperoleh legitimasi kekuasaan melalui penyerahan mandat rakyat kepada pemerintahan, dan sewaktu-waktu pertanggungjawaban itu kembali harus disampaikan.

          Kemudian menjadikan Pemilu sebagai alur dalam menyalurkan hak politik rakyat, lalu bagaimana hal politik itu bisa  terjaga secara murni, mengharuskan adanya kerangka hukum, guna selain menjamin kebebasan dan hak juga untuk memberikan kepastian. Oleh karena itu, diperlukan satu mekanisme yang terukur, maka hadirnya instrumen sistem keadilan pemilu (elektorat justice sistem) adalah suatu keharusan, karena demokrasi yang identik dengan kebebasan tidak mungkin tanpa bingkai dan ukuran yang sama untuk semua serta berkepastian agar keadilan dapat dirasakan dan hak yang lain tidak dirampas.

          Sebagai landasan yuridisnya juga terdapat dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dijelaskan bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang. Kemudian pada amandemen ketiga BAB VIIB tentang Pemilihan Umum pasal 22E juga diperjelaskan lagi bahwa:

  1. Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.
  2. Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
  3. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik.
  4. Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Daerah adalah perseorangan.
  5. Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
  6. Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang.

     `    Kemudian untuk pemilihan kepala daerah juga diatur dalam bab VI pasal 18 ayat 4 undang-undang dasar 1945 sebagai sumber hukum pemilihan yang berbunyi: “Gubernur, Bupati dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, Kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”. Istilah demokratis dimaknai dan disepakati sebagai metode pemilihan langsung sebagaimana pemilu yaitu melibatkan rakyat sebagai penentu siapa pemimpin daerah yang mereka kehendaki yang dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum bebas dan rahasia serta jujur dan adil.

          Untuk mewujudkan pemilu yang adil, segala bentuk praktik berupa, penyalahgunaan dan kesalahan instrumen hukum, tindak manipulasi pemilih dan suara harus ditekan sedemikian rupa. Oleh karena itu, diperlukan; (1) regulasi yang menempatkan warga negara secara sama dalam hak pilih, (2) regulasi memenuhi asas kepastian hukum, konsisten dan implementatif; (3) regulasi pemilu tidak hanya menjamin proses pemilu secara jujur melainkan juga menjadi rekayasa konstitusional dalam mewujudkan pemilu yang berintegritas, (4) regulasi menyediakan mekanisme penanganan pelanggaran dan sengketa terhadap hak yang dirugikan, (5) pemilu dilaksanakan secara profesional tanpa ada kekerasan oleh penyelenggara pemilu yang independen. (dalam Disertasi Khairul Fahmi, 2019: 151)

          Adapun konsep adil dalam penyelenggaraan pemilu adalah setiap pemilih dan peserta mendapat kepastian perlakuan yang sama serta bebas dari segala bentuk kecurangan. Sikap ini diperlukan untuk integritas pemilu dalam arti tidak memihak, karena akan menjadi syarat bagi sebuah pemilihan dapat dikatakan kredibel. Namun, bila terdapat persepsi publik yang menilai keadilan pemilu tidak bekerja secara maksimal dan lemah dalam penegakkan hukum penyelesaian perselisihan, maka dampaknya tidak hanya dapat merusak kredibilitas tapi juga akan dapat menyebabkan mereka mempertanyakan atau bahkan menolak hasil. (Fritz Edward Siregar, 2020:7)

          Sistem keadilan pemilu merupakan instrumen penting untuk menegakkan hukum serta menjamin sepenuhnya penerapan prinsip demokrasi melalui pelaksanaan pemilu yang bebas, adil dan jujur. Sistem keadilan ini dikembangkan untuk mencegah dan mengidentifikasi persoalan sekaligus sebagai sarana dan mekanisme untuk membenahi persoalan tersebut dan memberikan sanksi pada pelaku pelanggaran. Setiap tindakan, prosedur atau keputusan menyangkut proses pemilihan yang tidak sesuai dengan undang-undang termasuk dalam kategori ke tidak beresan.

          Mengingat bahwa dalam proses pemilu dapat menimbulkan sengketa dan pelanggaran, sistem keadilan pemilu berfungsi untuk mencegah terjadinya persoalan dan menjamin tegaknya asas pemilu. Oleh karena itu, desain sistem keadilan yang akurat sangat penting untuk menjamin legitimasi demokrasi dan kredibelitas proses penyelenggaraan.Keadilan pemilu mencakup cara dan mekanisme yang tersedia di suatu negara tertentu baik itu tingkat lokal, regional maupun internasional, tujuannya yaitu: (Internasional IDEA, 2010: 5)

  1. Menjamin bahwa setiap tindakan prosedur dan keputusan terkait proses Pemilu sesuai dengan kerangka hukum.
  2. Perlindungan atau memulihkan hak pilih, dan
  3. Memungkinkan warga yang meyakini bahwa hak pilih mereka telah dilanggar untuk mengajukan pengaduan, mengikuti persidangan dan mendapatkan putusan.

                   Konsep keadilan pemilu tidak hanya terletak pada penegakan hukum, tapi juga ditentukan oleh seluruh proses pelaksanaannya. Meskipun begitu sistem keadilan pemilu perlu mengikuti sejumlah norma dan nilai tertentu agar proses lebih kredibel dan memiliki legitimasi yang tinggi. Norma dan nilai dapat bersumber dari budaya dan kerangka hukum yang ada di masing-masing negara atau instrumen hukum internasional.

                   Sistem keadilan pemilu harus dipandang berjalan secara efektif, serta menunjukkan independensi dan imparsialitas untuk mewujudkan keadilan, transparansi, aksesebilitas, serta kesetaraan dan inklusivitas. Apabila sistem dipandang tidak kokoh dan tidak berjalan dengan baik, kredibelitas akan berkurang dan dapat mengakibatkan para pemilih mempertanyakan partisipasi mereka dalam proses pemilihan atau bahkan menolak hasil akhir. Dengan demikian keadilan yang efektif dan tepat waktu akan menjadi elemen kunci dalam menjaga kredibelitas proses.

          Mekanisme sistem keadilan pemilu meliputi tindakan pencegahan maupun metode formal dan informal dalam upaya menyelesaikan sengketa. Lebih luas lagi sistem keadilan pemilu mencakup berbagai mekanisme untuk menjamin adanya penyelesaian sengketa pemilu yang kredibel. Mekanisme itu meliputi: tindakan pencegahan dan metode penyelesaian sengketa yang bersifat formal (institusional) dan informal (alternatif), dengan kata lain sifatnya yaitu mengoreksi (korektif) atau menghukum (punitif), ada tiga jenis mekanisme utama penyelesaian sengketa pemilu, yaitu:

  1. Mekanisme formal atau korektif (misalnya mengajukan dan memproses gugatan Pemilihan): jika dilaksanakan mekanisme ini akan menghasilkan keputusan untuk membatalkan, mengubah atau mengakui adanya persoalan dalam proses pelaksanaan.
  2. Mekanisme penghukuman atau punitif (misalnya dalam kasus pelanggaran pidana): jika dilaksanakan mekanisme ini akan menjatuhkan sanksi pada pelanggar baik badan maupun individu yang bertanggungjawab atas persoalan tersebut (liability) pidana atau administratif terkait dengan pemilihan.
  3. Informal, meliputi mekanisme alternatif sebagai mekanisme yang dapat dipilih oleh pihak-pihak yang bersengketa.

Sebagai jaminan sistem keadilan mengharuskan adanya kerangka hukum serta lembaga peradilan yang jelas dan tegas dalam sistem itu agar supaya hak setiap warga dapat diakomodir di dalamnya. Maka dalam sistem pemilu di Indonesia dibangun beberapa instrumen proses keadilan pemilu sebagai mekanisme komplain bagi setiap warga negara dalam memperjuangkan haknya. Sistem keadilan pemilu dapat kita lihat dari kategorisasi antara pelanggaran dan Sengketa; pelanggaran dibagi atas 3 bagian yaitu; pelanggaran kode etik, pelanggaran administrasi serta pelanggaran pidana. Sedangkan Sengketa terdapat dua jenis yaitu sengketa proses pemilu, dan sengketa hasil Pemilu.

Pertama; pelanggaran kode etik yang berpedoman pada sumpah dan janji seorang penyelenggara, diselesaikan di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), yang memiliki tugas sebagai pengadilan etik bagi penyelenggara pemilu dalam hal ini Bawaslu dan KPU hingga di struktural terbawahnya, dan putusannya bersifat final dan mengikat bagi Presiden, KPU dan Bawaslu, atas eksekusi dari putusan DKPP oleh presiden, KPU dan Bawaslu barulah akan bisa menjadi objek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kedua; pelanggaran administrasi, penyelesaiannya di Bawaslu, dan eksekusinya di KPU. Untuk pelanggaran administrasi dibagi lagi dalam dua sifat; ada pelanggaran yang bersifat Terstruktur, Sistematis dan masif (TSM) yang basis persoalannya adalah politik uang, dan kedudukan kewenangannya hanya ada di Bawaslu dan Bawaslu Provinsi, atas putusan Bawaslu, si terlapor dapat mengajukan upaya hukum banding ke Mahkamah Agung dan putusan mahkamah Agung final dan mengikat. Kemudian ada sifat pelanggaran administrasi terkait dengan tata cara, mekanisme dan prosedur dalam setiap proses pemilu, kewenangan penanganannya ada pada semua hirarki Pengawasan.

Ketiga; Pelanggaran Pidana Pemilu, yang menjadi tugas 3 institusi yang tergabung dalam Setra penegakkan Hukum Terpadu (sentragakkumdu) yang terdiri dari institusi Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan sebagai pelaksana tugas penyelidikan, penyidikan serta penuntutan. Dan untuk tahap pra penyelidikan semua laporan atau temuan terlebih dahulu masuk di Bawaslu, kemudian yang bertugas mengadili adalah pada Pengadilan Negeri hingga ke Pengadilan Tinggi (banding). keempat; Sengketa proses pemilu, yang menjadi kewenangan Bawaslu dan pada proses bandingnya berada di Pengadilan tata Usaha Negara (PTUN) kelima;  Sengketa Hasil Pemilu, sengketa hasil pemilu menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi dan putusannya bersifat final dan mengikat.

Inilah desain sistem peradilan dalam sistem keadilan pemilu di Indonesia sebagai jaminan mekanisme formal dan non formal untuk terlaksananya pemilu yang langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil. Mekanisme ini bertujuan selain menjaga hak dan kepastian juga mewujudkan pemilu yang berintegritas dan demokratis sehingga hasilnya berkualitas dan akan membawa perubahan dalam mewujudkan cita-cita yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945.

Tag
BERITA
OPINI