Lompat ke isi utama

Berita

Pemilu: Menyelamatkan Demokrasi

Oleh: Ahmad Tamimi
(Anggota Bawaslu Kabupaten Indragiri Hilir)

Hakikat menyelamatkan demokrasi adalah sebuah upaya menyelamatkan rakyat dan negara, karena nilai yang terkandung di dalamnya telah mengakomodir keduanya. Dalam konteks ini bukanlah saya bermaksud mengkultuskan demokrasi, tapi saya sekedar meyakini bahwa nilai-nilai demokrasi itu sendiri mampu menaungi pluralitas hingga pluralisme bangsa. Adapun prinsif-prinsif yang terkandung di dalamnya adalah; sikap keterbukaan, persamaan, kejujuran, keadilan, serta kebebasan yang beraturan dan bertanggungjawab. Oleh karena itu gerakan penyelamatan menjadi urgen untuk kita giatkan.

Bicara demokrasi sungguh sangat luas sekali, maka dari itu dalam tulisan ini saya akan memfokuskan perbincangan seputar demokrasi dalam bentuk suksesi (pemilu). Karena disinilah salah satu titik tolak hadirnya bangunan demokrasi itu. Demokrasi ditelusuri dari makna adalah sesuatu dari rakyat, oleh dan untuk rakyat (Miriam Budiardjo, 2008: 105). Disini artinya bahwa rakyat memiliki posisi penting sebagai pelaku sekaligus penentu, terutama menetukan siapa pemimpin serta wakil yang terbaik untuk menyelamatkan rakyat dan negara-bangsa ini (nation-state).

Oleh karenanya untuk menghadapi pesta demokrasi yang tak lama lagi akan berlansung, setiap individu masyarakat perlu mempersiapkan diri dalam menetukan sikap dengan penuh kesadaran dan perhitungan. Untuk itu dalamrangka menguatkan agenda penyelamatan ada beberapa langkah strategis yang harus diupayakan. Pertama, menetukan hak pilih, ada dua sikap pemilih; (a) pemilih rasional, ciri-ciri pemilih rasional adalah sikap memilih yang mengedepankan ketokohan, rekam jejak (jasa dan prestasi) gagasan serta faktor prilaku. (b) pemilih irrasional (awam) adalah lebih kepada alasan primordial, uang, hubungan emosional, dan pemilih yang tak punya alasan.

Namun, dari keduanya yang paling mempengaruhi adalah faktor pendidikan dan kesadaran politik. Disinilah kita berharap agar setiap pemilih (konstituen) tidak terjebak dalam lingkaran gerakan politik praktis-pragmatis yang hanya berorientasi terhadap kepentingan jangka pendek, tapi lebih kepada pertimbangan terhadap efek positif kedepan. Karena kita khawatir demokrasi bisa dibeli oleh korporasi-korporasi elit politik dan pengusaha yang punya kekuasaan dan modal, akhirnya lahirlah kekuatan oligarki yang akan mengeroyok anggaran rakyat.

Kedua, memastikan partisipasi politik di hari pemilihan, karena selaku warga memilih golongan putih (golput) bukanlah jiwa yang siap berkorban terhadap negara, mungkin yang lain belum tentu bisa kita berikan selain partisipasi politik yang baik.Ketiga, ikut serta mengawal proses pemilu di setiap tahapan. Dalam undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang penyelenggaraan pemilihan umum dijelaskan bahwa yang mengawas proses pemilu adalah Badan Pengawas pemilu (Bawaslu) serta hirarkinya. Walaupun demikian tanggungjawab moral masing-masing warga juga dituntut untuk berpartisipasi, karena rasionalitas kita juga bisa mengukur tidak sebandingnya antara jumlah orang yang berkepentinagan serta luasnya wilayah yang diawasi terhadap porsi anggota Bawaslu yang ada. Untuk itu pengabdian serta pengorbana anak bangsa sangat dituntut agar proses pemilu dapat berjalan sesuai dengan tahapannya, lansung, umum, bebas dan rahasia, jujur serta adil.

Ke-empat, partisipasi dari kaum menengah yaitu para mahasiswa, akademisi serta tokoh-tokoh dalam upaya menjalankan fungsi korektif dan transpormatif. Fungsi korektif adalah suatu upaya mengamati, mengevaluasi, mengkritisi serta menyuplay pemikiran serta gagasan segar untuk menyempurnakan proses. Dan fungsi transpormatif adalah upaya kaum menengah untuk mendidik masyarakat dalam menciptakan pemilih dan pemilu yang cerdas. Menurut Azyumardi Azra; demokrasi dalam bentuk suksesi tidak akanmelahirkan hasil yang subtansi bila tingkat pendidikan masyarakat masih rendah, disinilah fungsi kaum menengah yaitu menggiatkan sosialisasi dan pendidikan politik.

Akhirnya kita berharap semoga proses demokratisasi di Indonesia dapat berjalan secara dinamis, artinya ada semacam perkembangan serta perubahan budaya politik yang selama ini sering berakting secara irrasional-amoral, praktis pragmatis menjadi rasional berbasis moral, inilah sesungguhnya keadaan yang kita rindukan. Pada masa selanjutnya jika budaya politik yang ada sudah membaik saya berharap beberapa priode kedepan Bawaslu dapat dibubarkan. Karena secara inheren hadirnya Bawaslu adalah sebuah cerminan bahwa masyarakat Indonesia cenderung tidak taat aturan. Hemat saya ini adalah renungan untuk perbaikan menuju negara yang paripurna melalui penyelamatan demokrasi.

Tag
BERITA
OPINI