Oposisi Menurut Nurcholish Madjid
|
Oleh: Ahmad Tamimi
(Anggota Bawaslu Kabupaten Indragiri Hilir)
Negara memberikan kebebasan kepada warganya untuk melakukan koreksi dan perbaikan demi tercapainya sistem pemerintahan yang berkeadilan serta menghargai Hak-hak Asasi Manusia. Istilah yang berkembang dalam sistem politik modern,untuk menerjemahkan semangat ide dari harapan di atas dikenal dengan istilah oposisi.
Sejarah perjalanan oposisi di Indonesia terutama pada masa Orde Baru, telah meninggalkan pengalaman pahit, betapa sebuah kekuasaan yang otoriter dan anti-kritik justru membuat lemahnya kekuasaan itu. Demokratisasi yang diklaem justrutidak demokratis lantaran kebebasan berpendapat dan bertindak dimonopoli penguasa.(Zaenuddin:2001. ix) Sementara rakyat tidak punya kesempatan untuk mengungkap kebenaran. Oposisi dalam bentuk gerakan moral dipenjara oleh sistem yang dicipta oleh penguasa.
Walaupun suara kebebasan telah dibuka sejak era-reformasi, namun, tradisi oposisi belum juga kunjung menjelma. Akibatnya, dengan lemah teradisi oposisi menyebabkan menguatnya pragmatisme politik yang berorientasi terhadap keuntungan jangka pendek. Politisi Partai cendrung memandang kekuasaan sebagai pusat keuntungan, dan di luar pemerintahan sebagai posisi merugikan. (Nurcholish Madjid: 2008. 230) Aktor dan partai politik di luar pemerintahan tidak memiliki energi yang cukup untuk berinvestasi politik jangka panjang dengan mengembangkan oposisi konstruktif, dan mereka lebih memilih mencari manuver politik bawah tanah untuk mendekati pusat kekuasaan.
Lahirnya koalisi berupa dibentuknya Sekretariat Gabungan (Set-Gab) yang terdiri dari Partai Demokrat, Golkar,Partai Keadilan Sejahtera (PKS),Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dan Partai Amanat Nasional (PAN). Semua partai ini bersepakat untuk memperkukuh dan mengefektifkan koalisi sehingga pemerintah dapat makin banyak berbuat untuk kepentingan rakyat. Selain itu, juga membina koalisi komprehensif, baik di pemerintahan maupun parlemen.
Koalisi seperti ini tidak lebih sebagai jalur kompromi kepentingan apa dan untuk siapa, sedangkan di eksekutif dan legislatif hanya sebatas serimonial yang sangat dramatis, karena segala sesuatu sudah disetting di luar forum, negara kini dikendalikan oleh sekelompok orang yang berkuasa dan berkepentingan, sedangkan rakyat berada pada nomor sekian.
Kini partai yang bersedia menjadi oposisi satu-satunya adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), itu pun dinilai setengah hati dan telah mengalami dilema pro dan kontra di internal, di karenakan Taufik Kemas mendapat dukungan politik dari Partai Demokrat untuk menduduki posisi ketua MPR. Tapiinilah salah satu strategi Partai Demokrat untuk melumpuhkan konsentrasi oposisi.
Melihatsemakin maraknya tradisi koalisi yang penuh kompromi, maka,menarik bagi peneliti untuk menelaah kembali pemikiran oposisi Nurcholish Madjid.Karena sejak masa rezim Orde Baru ia begitu gercarmendorong wacana pentingnya pelembagaan oposisi di Indonesia. Dalam situasi semacam ini, Cak Nur tampil dengan lantang menawarkan pentingnya oposisi untuk menciptakan mekanisme politik check and balances guna menghindari manipulasi demokrasi.
Wacana ini mendapat tanggapan penguasa (Soeharto)ketika itu. Soeharto mengatakan “bahwa Indonesia tidak perlu partai oposisi”. Pernyataan ini mungkin karena trauma terhadap sejarah. Namun, bisa juga ide oposisi dapat mengancam posisi Soeharto. Menurut Cak Nur, oposisi justru menggambarkan sikap kekeluargaan yaitu melahirkan upaya saling mengingatkan melalui chek and balance. Oleh karenanyaia memaknai oposisi dalam kerangka yang loyal. Terkait pandangan ini seperti ungkapannya dalam wawancara dengan forum keadilan;
“Dalam demokrasi yang sehat di perlukan check and balance. Jadi menurutnya ada semacam kekuaatan pemantau dan penyeimbang. Sebab dari pandangan yang agak filosofis, manusia itu tidak mungkin selalu benar...partai oposisi adalah wujud modern dari ide demokrasi dan jika kelompok itu tidak diakui, yang terjadi adalah mekanisme saling curiga dan cendrung melihat oposisi sebagai ancaman”.(Nurcholish Madjid,: 1998. 65)
Ide Cak Nur mengenai perlunya oposisi berawal dari pemahamannya tentang konsep ketuhanan yaitu berupa keseimbangan. Ide keseimbangan itu dikembangkannya dari ajaran agama. Cak Nur memahami bahwa bumi ini diciptakan dengan perinsip keseimbangan; bahwa kalau Tuhan tidak membuat penyeimbangan di antara manusia maka yang kuat akan menghancurkan yang lemah, dan ketika ajaran agama dibawakan ke ranah politik hasilnya adalah oposisi.(Ahmad Gaus:2010. 260). Ketika konsep keseimbangan juga dihubungkan dengan persoalan politik terutama politik keindonesiaan, maka muncul gagasan tentang keharusan oposisi.
Bagi Cak Nur, oposisi merupakan suatu kemestian, selain alasan fitrah juga hak bagi tiap orang agar terbebas dari taghut,yang menjelma dalam bentuk tirani kekuasaan. Baginya setiap manusia harus terbebas dari belenggu-belenggu,. karena belenggu akan mengakibatkan kehancuran. Dan kalau dalam bernegara akan menyebabkan lemahnya demokrasi.(Nurcholish Madjid: 1992. 4). Oleh karenanya kebebasan harus diperjuangkan tanpa pandang bulu.
Konsep oposisi Cak Nur merupakan pengambilan dari inti ajaran Islam yang ia bawa keranah politik, agar lahir aktivitas politik yang bernilai. Cara lain yang mungkin dilakukan untuk menciptakan suasana tersebut ialah dengan memperkuat orientasi-orientasi etika berdasarkan agama.(Nurcholish Madjid: 2008. 72-73) Maka bagi Cak Nur, pentingnya Islam di Indonesia didefenisikan secara lebih inklusivistis. Jadi, salah satu upaya mewujudkan oposisi sehat dan loyal tentu harus melakukan internalisasi nilai-nilai agar mempercepat lajunya proses demokratisasi Indonesia.
Beranjak ke ranah yang lebih praktis, Cak Nur berpandangan oposisi informal yang cendrung berjalan saat ini, belum punya kekuatan untuk mewujudkan keseimbangan, karena oposisi informal adalah golongan yang berada di lini tepi yang menyuarakan aspirasi dengan basis idealismenya yang terkadang didengar dan terkadang pula tidak. Makanya dalam hal ini Cak Nur punya impian ada hendaknya oposisi formal dalam bentuk kesediaan partai untuk menjalankan fungsi korektif secara lansung. Baginya peran partai memiliki kekuatan yang lebih strategis melalui gerakan politiknya baik pada porsi eksekutif maupun legislatif. Oleh karenanya, Cak Nurberpendapat bahwa pentingnya tradisi oposisi formal, agar benar-benar terwujud keseimbangan (Nurcholish Madjid:2008. 228)
Alasan Cak Nur menganggap urgennya oposisi, karena baginya tanpa oposisi yang kuat, kontrol terhadap pemerintah sulit diwujudkan, para politisi akan cendrung tenggelam dalam gairah pragmatisme. Karena mereka merasa punya legitimasi yang kuat (lewat pemilu lansung) dan ini memiliki pondasi yang kuat untuk menyalahgunakan kekuasaan, dan sistem demokrasi akan mudah dibajak oleh kekuatan oligarki yang senantiasa mengedepankan kepentingan kelompok dan individu.
Terlebih pengalaman sejarah membuktikan bahwa manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung menyalahgunakan kekuasaannya, dan manusia yang mempunyai kekuasaan tidak terbatas akan cenderung bersikap otoriter dan menyalahgunakannya (Miriam Budiardjo: 2008.107). Yang dikutipnya dalam Lord Acton, Letter to bishop Mandell (Creighton, 1887). Oleh karena itu, perlu dibatasi dengan kontrol kekuasaan. Maka, dalam konteks ini demokrasi sejatinya harus bergandengan dandikawal dengan oposisi. Karena untuk mewujudkan demokrasi, ada beragam rintangan dan cobaan yang jika tidak diatasi dengan hati-hati bisa membelok arah demokratisasi.
Berdasarkan hasil kajian dan analisis yang dilakukan, bahwa gagasan oposisi ini merupakan usaha Nurcholish Madjid dalam menginterrelasikan nilai-nilai Keislaman pada kultur politik keindonesiaan yang lebih khas dengan khazanah lokal. Tujuannya ialah agar Islam menjadi solusi bagi bangsa, melalui upaya mendiologkan antara norma dan tradisi. Oleh karena itu, gagasan oposisi Nurcholish Madjid terlihat begitu paralel dengan prinsip Islam. Karena memang motivasi dan inspirasi tentang urgensi oposisi didapatkannya dari semangat ajaran Islam, yaitu tentang hukum keseimbangan dan dualitas. Bila penyelenggaraan sebuah negara bangsa (nation-state) tidak memperhatikan hukum keseimbangan dan dualitas, maka bersiap-siaplah akan mengalami kekacauan dan kesirnaan.
Jadi, menjaga hukum keseimbangan dan hukum dualitas merupakan suatu kemestian. Secara politik, dalam teknis pelaksanaan di Indonesia setelah menimbang kultur bangsa dan kultur politik yang ada, maka bentuk pelembagaan oposisi merupakan kebutuhan yang mendesak untuk menghindari ketimpangan demokrasi. Karena akhir-akhir ini partai politik lebih cenderung memilih sikap koalisi yang penuh kompromi ketimbang oposisi loyal dalam arti mengimbangi dan mengecek. Akibatnya begitu terasa bahwa demokrasi sering dimanipulasi.